Di tengah semangat pembangunan infrastruktur dan percepatan investasi, geliat pembangunan jalan khusus angkutan batu bara dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) oleh PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) di Provinsi Jambi menghadirkan ironi yang tidak bisa diabaikan.
Di satu sisi, proyek ini menjanjikan efisiensi logistik dan penguatan ekonomi daerah. Namun di sisi lain, ia menghadirkan beragam risiko sosial-ekologis yang nyata — dari degradasi lingkungan, konflik ruang hidup, hingga ancaman terhadap infrastruktur publik strategis.
Pertanyaannya bukan lagi “apakah proyek ini membawa manfaat ekonomi,” melainkan “manfaat bagi siapa dan dengan risiko apa?” Di sinilah pentingnya membaca ulang proyek semacam ini dengan lensa ilmiah, legal, dan etik yang utuh — bukan semata melalui angka investasi atau progres pembangunan fisik.
Infrastruktur yang Rentan, Sungai yang Padat
TUKS yang dibangun PT SAS akan memfasilitasi pengiriman batu bara via Sungai Batanghari, sungai utama yang juga menjadi urat nadi ekonomi dan ekologi Provinsi Jambi. Namun, peningkatan drastis lalu lintas tongkang di jalur ini akan memperbesar risiko kemacetan perairan, abrasi bantaran sungai, hingga gangguan pada intake PDAM dan jalur transportasi lokal.
Dalam konteks tata air perkotaan, gelombang arus dari kapal besar bukan hanya masalah teknis, tapi juga ekologis — karena ia memicu sedimentasi, degradasi kualitas air, dan perubahan pola arus alami.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah posisi tiga jembatan strategis Kota Jambi- Batanghari I, Batanghari II, dan pedestrian Gentala Arasy - yang nantinya berada dalam lintasan kapal angkutan tambang batubara.
Secara teknis sipil, jembatan tidak didesain untuk menghadapi frekuensi vibrasi dan tekanan arus yang terus-menerus dari hilirisasi tambang. Risiko keretakan mikro, ketidakstabilan tiang pancang, hingga kecelakaan bawah-jembatan dapat menjadi bom waktu bagi keselamatan publik.
Deforestasi dan Krisis Hak Lingkungan
Pembangunan jalan hauling PT SAS yang membentang ±108 km melintasi kawasan hutan produksi dan wilayah hidup masyarakat adat menyisakan jejak deforestasi dan fragmentasi ekosistem yang signifikan.
Berdasarkan pemetaan WALHI, proyek ini berpotensi mengonversi lebih dari 5.900 hektar kawasan berhutan — sebuah angka yang bukan hanya menyentuh aspek ekologis, tapi juga hak hidup masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari hutan.
Dampaknya meluas hingga ke pemukiman warga. Stockpile batu bara yang dibangun berdekatan dengan hunian penduduk mengancam kualitas udara, tanah, dan air tanah. Dalam literatur kesehatan lingkungan, paparan debu batu bara (PM2.5 dan PM10) telah terbukti meningkatkan risiko ISPA, bronkitis kronis, bahkan kanker paru-paru. Ini bukan sekedar gangguan lingkungan , tetapi persolan kesehatan public yang sistemik.
Bukan Penolakan, Tapi Koreksi Demokratis
Munculnya kritik, aksi protes, hingga keberatan warga atas proyek ini harus dipahami secara utuh. Dalam negara demokratis, partisipasi masyarakat dalam pembangunan bukanlah gangguan, melainkan syarat utama legitimasi. Mengutip Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Cipta Kerja, partisipasi publik merupakan bagian tak terpisahkan dari penyusunan dokumen lingkungan (AMDAL).
Maka, bila masyarakat menyuarakan ketidakadilan, berarti ada mekanisme formal yang belum dijalankan secara substantif.
Proyek seperti milik PT SAS bukan sekadar urusan teknis dan administratif. Ia bersinggungan langsung dengan prinsip-prinsip keadilan ekologis, keberlanjutan ruang hidup, dan kesetaraan hak atas lingkungan hidup, dan kesetaraan hak atas lingkungan yang sehat — sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945.
Investasi Tanpa Kepercayaan adalah Investasi yang Rawan
Perlu ditegaskan bahwa kritik terhadap proyek ini tidak identik dengan sikap anti-investasi maupun asumsi liar bahwa penolakan masyarakat atau aktivis lingkungan didalangi oleh sekelompok pengusaha yang merasakan dirugikan dengan kehadiaran infastruktur baru ini.
Justru, keberatan masyarakat menunjukkan bahwa warga mulai menuntut akuntabilitas sosial dan keberlanjutan dalam setiap investasi yang masuk ke wilayah mereka. Ini sejalan dengan Pasal 3 huruf b dan c UU Cipta Kerja, yang menegaskan pentingnya asas kemanfaatan, keberlanjutan, dan wawasan lingkungan dalam setiap kegiatan pembangunan.
Dalam dunia usaha yang sehat, keberhasilan investasi bukan hanya diukur dari seberapa cepat proyek selesai, tetapi seberapa kuat ia membangun kepercayaan sosial, menjaga integritas lingkungan, dan merespons risiko secara bertanggung jawab.
Menemukan Jalan Tengah yang Berkeadilan
Kini saatnya semua aktor — pemerintah, perusahaan, masyarakat sipil — kembali ke meja dialog. Pemerintah daerah perlu bertindak sebagai fasilitator transparansi dan pelindung hak-hak masyarakat. PT SAS harus bersedia mengevaluasi pendekatan mereka: dari yang transaksional menjadi partisipatif, dari yang eksploitatif menjadi kolaboratif.
Investasi tidak boleh menjadi alasan untuk merendahkan ruang hidup masyarakat. Sebab jika ruang itu rusak, tak ada pertumbuhan ekonomi yang bisa menebus kehilangan ekologis dan sosial yang terjadi. Pembangunan sejati adalah yang tumbuh bersama warga — bukan yang berjalan di atas protes mereka. (*)
*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Pemkab Batanghari Buka Seleksi JPT Pratama, Ini Jadwal dan Tahapannya
Pemprov Jambi Bedah 51 Rumah di Tanjabtim Lewat Program Pro Jambi Tangguh
Gubernur Al Haris Raih Penghargaan Akreditasi Kearsipan Tingkat Nasional
Batubara vs Budaya: Candi Muarojambi dalam Pusaran Kepentingan Ekonomi dan Pelestarian Warisan