Mendahulukan Kebaikan Atas Kebenaran

Sabtu, 04 Februari 2023 - 12:26:08 WIB

*) Oleh: Maimunah Permata Hati Hasibuan, S.Sos., M.Si

TULISAN ini mengandung da’wah islam dimana da’wah adalah menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan akidah, syariat dan akhlak islam dimana tujuan utama da’wah adalah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhoi oleh Allah SWT dengan menyampaikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridhoi Allah SWT sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Sebetulnya, ajaran agama yang disampaikan oleh Nabi kita yang diteruskan oleh para ulama kita sejak dari masa-masa awal Islam, dalam praktek da’wah mereka selalu mempertimbangkan hal yang baik dari da’wah itu dibandingkan dari pertimbangan hal-hal yang benar dari metode da’wah tersebut. 

Hal ini antara lain misalnya yang dilakukan oleh Nabi SAW Ketika datang seseorang kepadanya yang meminta diajarkan kepadanya tentang Islam. Lalu, Nabi berkata kepada orang tersebut: La tagodob! (Jangan Marah!). 

Kenapa Nabi berkata demikian? Hal tersebut karena Nabi memilih yang baik untuk disampaikan kepada orang tersebut dimana Nabi telah mengetahui karakternya bahwa orang tersebut pemarah. 

Nabi pada saat itu tidak mengajarkannya untuk mengucap dua kalimat syahadat. Akan tetapi, di lain waktu ada pula yang datang kepada Nabi untuk diajarkan tentang Islam. 

Lalu, Nabi mengajarkan kepada orang tersebut dua kalimat syahadat. Ini artinya bahwa Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam kepada manusia lebih mengutamakan sisi yang lebih baik dari ajaran agama tersebut untuk disampaikan kepada orang yang bersangkutan.

Demikianlah cara yang dipilih oleh Nabi SAW dalam hal menentukan yang baik terlebih dahulu kepada orang tersebut dibandingkan dari yang benar dari ajaran agama itu sendiri.

Itulah kenapa Nabi mengutamakan kebenaran atas kebaikan dalam prosesnya, maka hal itu sudah tentu Nabi telah mempertimbangkan sisi yang lebih dari ajaran agama untuk disampaikan.

Sedangkan, mungkin dari sudut kebenarannya masih dapat dipersoalkan dalam hal apa yang telah dilakukan oleh Nabi SAW yakni “mendahulukan kebaikan (hasanah) atas kebenaran (al-haq) dalam menjalankan da’wah tersebut, hal demikian ini sejalan juga dengan Firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang berbunyi: “Ud’u ila sabili robbika bil hikmah walm au ‘izhotil hasanah wa jadilhum bil lati hiya ahsan” (Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang lebih baik). 

Istilah yang digunakan dalam ayat ini adalah “mau’izhotil hasanah” (pengajaran yang baik) bukan “mau’izhotil haq” (pengajaran yang benar).

Jika dilihat dari da’wah Nabi yang berpijak pada ayat di atas, para ulama kita juga telah mempraktekkan bahwa “hal yang baik didahulukan dari hal yang benar di dalam da’wah-da’wahnya. 

Misalnya, dalam dalam da’wah boleh digunakan hadits-hadist yang lemah oleh karena hadist-hadist ini isinya mengajarkan kebaikan-kebaikan kepada setiap orang. Jadi, meskipun hadistnya lemah karena isinya baik untuk mengajak orang-orang ke jalan Allah, maka ulama membolehkannya untuk digunakan dalam berda’wah. 

Hal ini juga tentu contoh konkrit dari mendahulukan kebaikan itu atas kebenaran. Misalnya, dalam hal pendidikan atau mendorong untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunat, ulama membenarkan untuk menggunakan hadist-hadist yang dilihat secara dalil, tidak lah kuat status dalilnya. 

Namun, jika memasuki wilayah hukum (syari’at) misalnya dalam membuat keputusan-keputusan hukum antara yang baik dan yang benar haruslah dilihat dalam bingkai satu kesatuan yang utuh. 

Islam dalam hal ini memutuskan bahwa yang baik adalah yang benar dan yang benar adalah yang baik. Islam tidak mempertentangkan antara yang baik dan yang benar. Yang baik itu adalah yang benar dan yang benar itu adalah yang baik. Kenapa? Oleh karena sumber kebaikan dan kebenaran itu adalah sama yaitu al-qur’an dan as-sunnah.

Aliran Kebaikan dan Aliran Kebenaran

?Pada faktanya, manusia dalam kehidupannya di dunia ini ada golongan yang berpihak kepada kebaikan dimenangkan atas kebenaran dan ada pula golongan yang berpihak pada kebenaran dimenangkan atas kebaikan. 

Dalam teori etika dari ilmuan-ilmuan Barat misalnya terbagi kepada dua aliran ini. Ada ilmuan yang mengutamakan nilai-nilai kebaikan adapula ilmuan yang mengutamakan nilai kebenaran sehingga keduanya menjadi landasan etika untuk melihat persoalan kehidupan. 

Seorang anak yang terpaksa harus mencuri untuk mendapatkan uang yang uang itu digunakan oleh anak tersebut untuk mengobati ibunya yang sedang sakit. Apakah anak ini harus dihukum? Aliran yang berpihak pada kebenaran maka anak itu harus dihukum. 

Tapi, aliran yang berpihak pada kebaikan, anak itu bisa menjadi tidak dihukum oleh karena melihat ada sisi kebaikan-kebaikan dalam perbuatan anak tersebut, walaupun perbuatannya salah. Lalu, kita orang Islam mau berpihak kemanakah kita?

Kaitan Ajaran Islam Terhadap Kebaikan dan Kebenaran

Islam tentu mempunyai ajaran yang elastis yang memberikan ruang kepada setiap kasus dan permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan ummat manusia. Sebagai manusia yang beragama, kita tentu harus bisa mengutamakan mengamalkan ajaran agama di atas semua ajaran yang kita miliki. 

Apapun itu terkait dengan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam hukum-hukum negara, adat istiadat, tradisi dan sebagainya. Maka, dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran agama, hukum-hukum negara, adat dan tradisi haruslah dapat dijadikan sebagai implementasi dari ajaran-ajaran agama tersebut. 

Agama tidak bisa dijalankan jika infrastruktur agama itu sendiri seperti: hukum-hukum negara, adat dan tradisi tidak kita miliki. Karena itu sikap kita jangan membuat pertentangan di antara ajaran agama itu sendiri dengan hukum-hukum negara, tradisi dan adat istiadat.

Salah satu contoh konkrit, Islam mengajarkan bahwa binatang Babi itu tidak selamanya diharamkan oleh Allah SWT. 

Dalam kondisi-kondisi tertentu, misalkan Ketika terjadi saat-saat dhoruroh (darurat), dimana hanya binatang Babi yang tersedia untuk dimakan untuk menyelamatkan hidup, maka Babi tersebut menjadi boleh dimakan, tentu tidak melampaui batas. Ulama fikih pun telah membuat kaidah fikih yang berbunyi: “ad-dhorurotu tubihul mahzhurot” (kesulitan itu membolehkan sesuatu yang diharamkan untuk dilaksanakan). 

Jadi, jika kita kembali kepada contoh kasus diatas bahwa; anak mencuri uang karena terpaksa sedang tidak ada cara lain yang bisa anak itu tempuh untuk keperluan biaya ibunya berobat, maka itu tentu bisa dimasukkan ke dalam perbuatan yang diharamkan tetapi oleh karena doruroh, maka perbuatan itu menjadi bisa dibolehkan sesuai dengan kasus yang dihadapi.

Dari penjabaran diatas adalah dalam hal mendahulukan kebaikan atas kebenaran, hanyalah berlaku dalam proses dan tujuan yang mengandung da’wah atau pendidikan saja. 

Dalam da’wah atau pendidikan tujuannya adalah bagaimana bisa membuat orang-orang untuk memiliki jiwa dan prilaku agamis. Jika seseorang memiliki jiwa dan prilaku agamis, maka nilai kebaikan akan mengantarkannya menuju kebenaran-kebenaran. 

Maka, sebelum kita benar, maka baiklah kita dulu. Jika seseorang datang ke masjid untuk shalat meskipun gerakan dan bacaan-bacaannya masih belum sempurna, itu sudah termasuk perbuatan baik. Tetapi, tentu bahwa baik saja tidak cukup, sehingga baik itu separuh dan yang separuh lagi adalah benar. 

Orang-orang jika ingin benar harus melalui proses belajar dengan cara yang baik dan benar pula. Untuk orang yang datang ke masjid tadi shalat dengan gerakan dan bacaan yang masih belum sempurna itu, dengan jiwa yang sudah baik, maka dia pun akan terbuka untuk menjadi orang yang benar dalam shalatnya. 

Marilah kita sebagai umat muslim yang mampu melihat baik adalah benar dan melihat benar adalah baik. Muslim yang sempurna itu adalah muslim yang memadukan di dalam dirinya kebaikan dan kebenaran, bersatu-padu, sama-sama bersumber pada nilai-nilai yang diderivasi dari al-qur’an dan sunnah Nabi.

*) Penulis adalah Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi



BERITA BERIKUTNYA